Presiden Soeharto: Dwifungsi ABRI Dilahirkan Sejarah[1]
RABU, 5 OKTOBER 1977, Peringatan
Hari ABRI hari ini dipusatkan di Senayan, dimana Presiden Soeharto
bertindak sebagai Inspektur Upacara. Dalam amanatnya, Presiden
mengemukakan bahwa sebagai kekuatan politik, gagasan dan pikiran ABRI
mengenai masalah kenegaraan tetap disalurkan melalui cara-cara yang
demokrasi dan konstitusional. Juga diingatkan bahwa selama ini ABRI
tidak pernah memaksakan kehendaknya. Hal ini menunjukkan bahwa ABRI
sebagai pengawal Pancasila dan UUD 1945, tetap menjunjung ciri-ciri
demokrasi bangsa kita, yaitu mufakat melalui musyawarah.
Menurut
Kepala Negara, sejarahlah yang telah melahirkan peranan kembar ABRI,
yang kemudian mendapat tempat dalam kehidupan bangsa dan kenegaraan
Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama Dwifungsi ABRI. Tetapi ia
menegaskan bahwa Dwifungsi sama sekali tidak berarti bahwa ABRI
mencampuri atau mengambil alih urusan sipil, lebih-lebih bidang atau
urusan yang telah berjalan dengan baik. Namun duduknya seorang anggota
ABRI dalam jabatan sipil harus dapat menjadi teladan, baik dalam bidang
mental ideologi, dalam semangat pengabdian, dalam disiplin, maupun dalam
kemampuan teknis. Demikian antara lain dikatakan oleh Presiden
Soeharto. (AFR).
[1]
Dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret
1978″, hal 548. Buku ini ditulis oleh Team Dokumentasi Presiden RI,
Editor: G. Dwipayana & Nazarudin Sjamsuddin dan diterbitkan PT.
Citra Kharisma Bunda Jakarta, Tahun 2003.