PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

ASEAN DI PERSIMPANGAN JALAN

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,
Para Pemimpin ASEAN di KTT ke-21
Pasca KTT di Phnom Penh 2012, kondisi ASEAN di persimpangan jalan. Ada pergeseran struktur politik, dari realis ke arah liberal.

Konferensi Tingkat Tinggi ke-21 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), di Phnom Penh, Kamboja, November 2012, menjadi saksi pecahnya ASEAN. Saat itu Presiden Filipinan Benigno Aquino III tak sungkan memprotes Ketua ASEAN Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di depan umum. Putra Corazon Aquino itu menuding Kamboja menjadi kaki tangan Cina di tubuh ASEAN.

Itulah kali pertama seorang pemimpin negara anggota berkonflik secara terbuka dengan koleganya dari negara lain. Tak tanggung-tanggung, di tengah pidato penutup Hun Sen sekalipun, Aquino masih sempat interupsi. “Tidak ada kesepakatan. Pegangan kami hukum internasional dan PBB,” kata Aquino. Dia membuyarkan kesepakatan sebelumnya bahwa tak boleh ada internasionalisasi isu Laut Cina Selatan.

KTT Phnom Penh juga tercatat sebagai konferensi tinggi pertama tanpa pernyataan politik bersama dalam 46 tahun sejarah ASEAN.

Bara konflik di Laut Cina Selatan

LAUT Cina Selatan (LCS) kini memang ibarat api dalam sekam bagi ASEAN. LCS merupakan laut tepi di Samudera Pasifik, membentang 3,5 juta kilometer dari Singapura hingga Taiwan. Selain kaya akan sumber daya hayati, LCS menjadi jalur lalu lintas sepertiga pelayaran dunia. Diperkirakan LCS menyimpan cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar, 213 miliar barel minyak—10 kali lipat cadangan Amerika—dan 25 triliun meter kubik gas—setara cadangan Qatar.

Saling klaim memang terjadi di laut yang kerap disebut penguasan Dinasti Han dengan istilah “lautan mendidih”. Cina mengklaim porsi terbesar, hampir 80 persen, dari LCS. Dasarnya, sejak 2.000 tahun silam Kepulauan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari kekaisaran Cina.

Vietnam juga mendasarkan klaim pada dokumen sejarah. Sejak Abad ke-17, Vietnam mengklaim mereka telah menguasai dua kepulauan itu. Filipina mengklaim kedaulatan atas Spratly berdasarkan kedekatan geografis sesuai Konvensi Hukum Laut Internasional.

Malaysia mengklaim sebagian pulau dari gugusan Kepulauan Spratly dan—bersama Brunei—menuntut wilayah yang masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif berdasarkan Konvensi. Indonesia sama sekali tidak memiliki klaim tapi zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna bertabrakan dengan klaim Cina.

Sengketa kian kusut ketika Amerika Serikat—yang bernafsu mengembalikan hegemoninya di kawasan Pasifik—ikut cawe-cawe. Washington seperti tak kehabisan kata-kata meminta Beijing menyelesaikan sengketa berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional. Padahal, Amerika sendiri tak pernah meratifikasi Konvensi itu.

Cara penyelesaian lewat Konvensi memang tak disukai Cina. Maklum, Beijing lebih berpegang pada klaim historis. Sebab itu, ia menolak internasionalisasi sengketa dan memilih jalur pembicaraan bilateral.

Sebaliknya, Filipina dan Vietnam menolak diplomasi langsung dengan Cina. Kedua negara itu justru berpaling kepada ASEAN untuk menginternasionalisasi isu Laut Cina Selatan meskipun ASEAN terkenal punya cara tersendiri menyelesaikan masalah. Negosiasi bilateral dengan Cina—yang lebih superior secara ekonomi dan militer—akan menempatkan Filipina dan Vietnam pada posisi inferior.

Dukungan Amerika membawa angin segar. Tak heran jika kedua negara, terutama Filipina, menyambut Amerika bak juru selamat. Manila semakin percaya diri dan galak.

Chandra Muzaffar, Profesor Studi Global Universiti Sains Malaysia, menilai karpet merah bagi Amerika sehingga bisa menjadi pemain dalam isu LCS sangat berbahaya. Di satu sisi, Filipina dan Vietnam akan semakin keras kepala. Di sisi lain, Beijing tak akan membiarkan Washington mengacak-acak kepentingan nasionalnya di kawasan. Sebab, bagi Cina, LCS setara isu Tibet dan Taiwan. “Konflik Amerika dan Cina akan melahirkan dampak dahsyat bagi ASEAN.”

Hilangnya Saudara Tua

Julius Sumant, jurnalis senior dan produser televisi, menilai kondisi ASEAN saat ini disebabkan pergeseran struktur politik yang realis ke arah liberal. Pandangan realis menjadikan Negara sebagai aktor utama penentu kebijakan politik luar negeri. Ia menempatkan isu kedaulatan dan stabilitas kawasan lebih daripada isu lain seperti ekonomi.

Nah, lanjut Julius, di era Orde Baru, Presiden Soeharto mampu menjadi penjaga harmoni dari politik realisme di kawasan. Ada pengakuan eksplisit dari negara-negara anggota ASEAN bahwa Indonesia yang terpersonifikasi dalam diri Pak Harto dihormati sebagai “saudara tua”.

Bagi para realis, seperti Pak Harto, Perdana Menteri Malaysia (1981-2003) Mahathir Mohamad, dan Perdana Menteri Singapura (1959-1990) Lee Kuan Yew, negara-negara Asia Tenggara yang sebetulnya beraneka ragam secara politik harus bersatu mewujudkan stabilitas keamanan di kawasan. Harmoni para realis ini terbukti mampu meredam potensi konflik yang mungkin timbul dari persoalan perbatasan, terutama di sekitar Laut Cina Selatan.

Sayangnya, bandul realisme politik di Asia Tenggara sedikit demi sedikit bergeser sepeninggal para pemimpin senior mereka. Struktur politik di negara-negara ASEAN makin terdesentralisasi seiring iklim politik yang semakin terbuka.

Sejak itu, kebijakan politik luar negeri tidak lagi secara hitam putih dimonopoli oleh agensi bernama Negara. Lebih dari itu, keterbukaan juga memberi ruang sangat lebar kepada kelompok politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan, baik nasional maupun transnasional, untuk bermain memperngaruhi formulasi kebijakan politik luar negeri. Alhasil, politik luar negeri sebuah negara menjadi tampak anarki satu sama lain.

Mahathir mengakui gaya kepemimpinan Pak Harto memainkan peranan sangat penting dalam menjaga harmoni di ASEAN. Setiap persoalan yang muncul selalu bisa dikelola dengan baik di internal ASEAN. “Para pemimpin ASEAN mendudukkan Pak Harto sebagai orang tua. Beliau sangat dihormati oleh para pemimpin ASEAN,” tulis Mahathir dalam buku “Pak Harto: The Untold Stories”.

Lee juga berpandangan senada. Di saat-saat sulit, tulis Lee, seperti ketika Phnom Penh dan Saigon jatuh ke tangan rezim komunis pada 1975—dan ada kecemasan gelombang komunis menyapu seluruh Asia Tenggara, Pak Harto mampu tetap tenang dan menyatukan pandangan politik ASEAN. Kala itu, ASEAN bulat mengambil sikap bahwa Vietnam bukan ancaman bagi kawasan.

“Di bawah Soeharto, Indonesia tidak bersikap seperti sebuah negara hegemoni. Indonesia tidak bersikeras terhadap pandangan dirinya, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan-kepentingan negara lain dalam ASEAN. Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai first among equals, atau terutama di antara yang sederajat,” tulis Lee dalam The Untold Stories.

Selain itu, Pak Harto lebih mementingkan kepentingan ASEAN dibandingkan negara luar ASEAN. Menjelang pertemuan tingkat menteri ASEAN-Amerika Serikat di Washington, DC pada Agustus 1978, Pak Harto berpesan jika memandang penting ASEAN, maka Amerika harus mendengar semua yang disampaikan ASEAN dalam pertemuan itu.

Pada kesempatan lain, dalam pertemuan antara ASEAN dengan Masyarakat Ekonomi Eropa di Jakarta pada 26 Februari 1979, Pak Harto mengkritik negara maju yang menerapkan kebijakan proteksionisme sehingga berdampak negatif terhadap negara-negara berkembang. Ekspor negara berkembang mengalami pukulan, sehingga lapangan kerja bagi sebagian besar buruh dan petani tertutup.

Penulis : Abdul Rohman