PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

MENGUNGKAP FAKTA G 30 S/PKI

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,

Mengungkap Fakta G 30 S/PKI

Oleh : Sulastomo

Perlu mengetahui apa yang bersirat dari fakta-fakta apa yang sudah disampaikan. Dimulai dengan presentasi Pak AB Lapian mengenai apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober. Barangkali saya bisa mulai dari satu hari sebelumnya, yaitu tanggal 29 September 1965, ketika Bung Karno menolak tuntutan Aidit untuk membubarkan HMI dalam forum terbuka, dalam rapat umum yang diselenggarakan oleh Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Gelora Bung Karno, Senayan. Dalam forum terbuka itu Bung Karno dan Leimena dengan tegas menolak tuntutan CGMI dan Aidit untuk membubarkan HMI, hanya satu hari sebelum G30S. Apalagi jika dikaitkan dengan kesimpulan salah satu pembicara bahwa kekuatan politik praktis hanya tiga: PKI, AD dan Bung Karno sebagai penyeimbang. Kalau kita bisa menginterperstasi peristiwa itu. Menunjukkan bahwa Bung Karno tidak selalu mengikuti permintaan PKI. Dengan perkataan lain, adalah keliru, menempatkan Bung Karno Seolah-olah di bawah pengaruh PKI, meskipun dalam banyak hal Bung Karno memberikan toleransi mengakomodir permintaan PKI.

Hal ini membuktikan bahwa Bung Karno benar-benar sebagai penyeimbang. Bung Karno bisa dan berani menolak permintaan PKI. Dari segi PKI, saya tidak tahu, apakah kejadian itu hendak dijadikan ‘test case’ peran Bung Karno untuk peristiwa besar sehari setelah itu, yaitu G30S? ini harus dibuktikan. Sebagai ketua HMI, saya termasuk terkejut, “kok, PKI berbuat begitu, memaksakan hendak memforsir malam itu juga HMI harus bubar.” Pertanyaannya adalah, apa ini ada kaitannya dengan peristiwa satu hari berikutnya? Siapa tahu ini persiapan dalam rangka mengeliminir lawan-lawan yang dianggap berpotensi menggagalkan?

Apa yang terjadi  pada 1 Oktober, yang jatuh pada hari Jum’at itu ? Meskipun masih pukul 07.00, karena HMI sedang diganyang, saya sudah berada dirumah Mas Subhan, seorang tokoh NU yang kemudian menjadi ketua KAP Gestapu, yang sekjennya adalah adalah Mas Harry Tjan Silalahi. Kira-kira pukul 07.30 telepon masuk dari salah seorang ketua HMI, yaitu Sdr. Syarifudin Harahap, yang mendengarkan warta berita pengumuman Dewan Revolusi. “… Mas Tom, Mas Tom, ini ada kudeta”. Kemudian ditambahkan, “Dan ini mesti PKI… “

Supaya bapak-bapak bisa merasakan suasana diwaktu itu, saya ceritakan apa yang kemudian kami lakukan. Seperti biasa, saya ingin mengecek dulu keadaan. Bersama Syarifudin Harahap, dengan vespa saya berkeliling ke Jalan Merdeka, Tengku Umar. Dari apa yang terlihat, timbul pertanyaan, “Kok, ini ada pasukan Diponegoro?. Kemudian kami kembali ke Jalan Banyumas 4, kediaman Mas Subhan. Mas Subhan baru makan pagi. Kesan kami, rasanya ia belum tahu apa yang terjadi dengan peristiwa hari itu. Begitu saya beritahu, ia langsung mengikat sarungnya naik keatas, kemudian turun lagi membawa pistol dan diletakkan di meja. Ini saya ingin menggambarkan betapa orang pada waktu itu merasa tegang luar biasa. Subhan saja terkejut dan tegang seperti itu. Subhan, seorang tokoh politisi muda, pemberani, begitu saya beritahu, makannya belum selesai, naik ke atas langsung membawa pistol dan terus memberikan instruksi-instruksi.

Sekitar pukul 10.00, PB HMI sudah berkumpul semuanya, membagi pekerjaan, antara lain dokumen-dokumen dipindahkan, dan lain-lainnya. PB HMI pindah kantor dari Diponegoro 16 ke Pasuruan 6, karena kita menganggap kalau ini betul PKI tentu HMI akan menjadi sasaran. Perlu ditambahkan, dikalangan masyarakat tertentu, dan juga PKI sendiri, dikatakan suasana sudah hamil tua. Jadi bahwa akan ada clash antara PKI dengan AD, bagi kalangan tertentu, termasuk yang saya pahami, tinggal menunggu waktu, besok pagi, lusa, kapan, ya tinggal menunggu waktu. Jadi, pada waktu G30S terjadi, meskipun terkejut, sedikit banyak kita sudah memperhitungkan akan  terjadi peristiwa seperti itu. Siapa mendahului, apakah AD atau PKI, itu sudah menjadi pembicaraan di kalangan kami semua. Ini yang pertama yang saya ingin sampaikan.

Yang kedua, saya sangat setuju, bahwa banyak yang berkepentingan. Apakah CIA, KGB, AS, atau segala macam lainnya. Saya kira sangat naïf kalau menganggap AS tidak punya kepentingan di Indonesia, begitu juga KGB dan lainnya. Tetapi saya juga mengatakan sangat naïf jika dengan intervensi itu kemudian kita menyimpulkan atau lepas tanggung jawab bahwa seolah-olah kita tidak bertanggung jawab atas yang terjadi di Indonesia. Bahwa CIA campur tangan, infiltrasi, lobi, tadi saya katakan kepada teman-teman saya sendiri, dengan kedutaan AS, istilahnya apakah didekati atau mendekati. Tetapi kalau saya sampai terpengaruh oleh teman dari Kedutaan Amerika, maka itu salah saya sendiri. Begitu juga AD, Bung Karno, Soeharto, PKI, kalau sampai terpengaruh dengan intervensi itu, tentu salahnya sendiri, tidak boleh lepas dari tanggung jawab. Ini prinsip saya. Karena itu sangat naif jika CIA dianggap tidak ikut main, pasti ikut main.

Cuma, bagaimana mengelola ‘intervensi’ mereka di sini, inilah yang harus kita sikap. Karena itu saya tidak cendrung untuk menyalahkan CIA sebagai dalang, sebab CIA tidak bisa apa-apa jika tidak ada orang kita yang terlibat atau membantu. Demikian juga dengan yang lain-lainnya. Karena itu, yang dikatakan “dalang itu tidak dalang betul”. Mungkin orang cuma keblinger, kata Bung Karno mengenai peran PKI, dalam G30S. Tapi keblinger pun itu apa tidak salah ? Ya, salah. Kenapa mau keblinger oleh provokasi Dokumen Gilchrist, Dewan Jenderal, dan lain sebagainya. Kenapa bisa begitu? Ini titik tolak berpikir saya. Apakah itu suatu kudeta? Ya, karena pengumuman Dewan Revolusi pukul 11.00 dengan tegas mengatakan presiden, kabinet, semua sudah tidak ada.

Apakah ini intern AD? Dalam teori yang saya percayai, di Indonesia tidak ada suatu gerakan seperti itu tanpa keterlibatan AD. Bodoh kalau ada orang seperti itu tanpa melihat AD. Kalau kita pelajari Biro Khusus. Dalam Victor Vic Anatomy of the Jakarta Coup: September 30, 1965, Brock University, Canada, 2001, disitu dilaporkan bahwa biro khusus itu dibentuk tahun 1964 dengan tujuan untuk membina kaum militer. Saya kagum, dari tahun 1964-1965 sudah ada 700 tentara dalam berbagai pangkat yang berhasil dibina. Kemudian apakah PKI terlibat? Disitu juga dicantumkan dialog antara Mao Zedong dengan DN. Aidit yang isinya kira-kira begini: Mao Zedong menyarankan untuk mendahului “kudeta” Dewan Jenderal itu. Aidit mengatakan ” Nanti akan banyak korban”. “Oh, tidak apa-apa, di Cina juga saya mengorbankan sekian ribu untuk revolusi waktu itu, tidak apa-apa!” Jadi saat itu Aidit sebenarnya juga ragu-ragu. Tetapi pada pertemuan-pertemuan pada bulan Agustus di Dewan Biro Khusus seperti yang disampaikan oleh seorang pembicara, akhirnya Aidit dan Sjam Kamaruzaman memutuskan untuk ‘mendahului’ Dewan Jenderal itu. Dan kenapa gagal, dari naskah ini juga kita baca, sebenarnya Letnal Kolonel atau (Kolonel Heru Atmojo sudah memprediksi operasi ini akan gagal karena tidak memenuhi syarat operasi militer sekecil apa pun, kenapa? Pimpinannya tidak jelas. Ini menurut Heru Atmodjo. Tapi, bahwa itu diputuskan oleh Biro Khusus itu ada faktanya.

Tokoh kunci peristiwa G30S adalah Sjam Kamaruzaman yang menurut Dr. Fic sejak tahun 1964 adalah salah satu ketua Biro Khusus itu. Meskipun Biro Khusus itu berada di luar struktur PKI, tetapi akhirnya disetujui oleh Sentral Komite PKI dengan pertimbangan menang diperlukan tugas-tugas yang dibantu oleh kalangan militer.

Apakah Sjam itu double agent? Saya masih sulit mengecek Sjam ini siapa, termasuk kepada. Bapak Rosihan Anwar. Kalau kalangan militer umumnya tidak mengakui bahwa dia double agent, apalagi “double agent” Aidit dan militer, khususnya Soeharto. Tetapi yang jelas ia adalah Biro Khusus PKI. Kemudian bagaimana peran AD? Tadi telah dikatakan bahwa yang berperan waktu itu hanya AD dan PKI dengan Bung Karno sebagai penyeimbang. Yang lain, termasuk ormas dan partai politik, ibarat cuma pengembira saja. Kalau tidak pro AD, ya Pro PKI, pilihannya cuma dua itu. Dan kesadaran AD terhadap gerakan komunis tidak hanya 1-2 tahun. Saya kira, sudah lama dimulai dengan pembentukan badan kerja sama pemuda-militer, buruh-militer, dan sebagainya, yang semua itu sebenarnya untuk mengcounter SOBSI dan lain-lainnya bahwa AD berpolitik, sebenarnya telah terjadi sejak awal kemerdekaan. Jika kita membaca buku Pak Nas, buku Syaifudin Zuhri dan lain-lainnya, pokoknya asal terkait dengan Pancasila, UUD 1945, AD pasti terlibat.

Kenapa Pak Nas mendirikan ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ( IPKI) ditahun 1954 atau menjelang pemilu 1955? Karena khawatir PKI sudah akan menang, sehingga Pak Nas khawatir keadaan Negara tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi. Kira-kira itu alasan pendirian Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Demikian juga pada saat 1959, ketika kembali ke Dekrit Presiden UUD 1945, ada cerita bahwa Pak Idham Chalid, Ketua PB NU didatangi oleh Pak Nas, pukul 01.30 malam untuk ikut menyakinkan Sukarno agar kembali saja ke UUD 1945. Namun, setelah itu tentu kekhawatiran terhadap komunisme semakin besar. Jadi dapat dikatakan keterlibatan AD motivasinya adalah untuk melawan komunisme. Dalam hal ini, termasuk HMI juga ikut disitu. Kemudian saya tanya kepada kalangan AD, apa betul Pak Harto mau kudeta Pak Harto? Ini saya tanyakan dengan orang-orang yang dekat dengan Pak Harto sampai hari kemarin. Jawabannya, Soeharto itu loyal dengan Soekarno. Apa buktinya?

Yang saya rasakan mungkin Sdr. Rahman Tolleng juga ikut waktu tahun (1966). Waktu sidang MPRS tahun 1966, melalui resolusi jamaludin Malik, MPRS sudah mempersoalkan kedudukan Bung Karno, antara lain oleh Rd. Panji Soeroso, juga termasuk alumni HMI yang menjadi anggota MPRS.  Saya ditelepon oleh orang yang dekat dengan Pak Harto, “ Kok, alumni HMI sikapnya melawan Bung Karno”. Padahal baru bulan Maret 1966 (diralat oleh Salim Said, yaitu bulan Juli-red) Juli 66. menurut dia ini bukti yang pertama. Yang kedua, waktu sidang MPRS tahun 1967, ada revolusi untuk mengadili Soekarno. Kembali ada utusan untuk melobi, tolong jangan sampai ada resolusi MPRS untuk mengadili Bung Karno. Untuk ini banyak saksi yang masih hidup saya kira.

Bahkan Pak Moerdiono mengingat, “Mas Sulastomo, waktu menyusun pembubaran PKI, tidak ada yang dicoret oleh Pak Harto, selain menambah untuk mengamankan Panca Azimat revolusi dalam konsideran naskah pembubaran PKI.” Jadi adanya kata Panca azimat revolusi dalam konsideran pembubaran PKI adalah dari Pak Harto. Moerdiono mengatakan, “ Mas Sulastomo, Pak Harto itu loyal banget pada Bung Karno”. Ini menunjukkan, kalau logika ini kita pegang apakah ada suatu reasoning bahwa ini adalah suatu kudeta AD, khususnya Soeharto kepada Soekarno. Ini adalah contoh-contoh yang dikemukakan oleh orang-orang yang dekat dengan Pak Harto. Sehingga tanpa mengurangi kekaburan yang masih ada, kalau saya pribadi, saya menilai peristiwa G30S adalah PKI, meskipun keblinger. PKI tetap tanggung jawab. Jadi istilahnya Bung Karno bahwa ada pimpinan PKI yang keblinger, itu betul. Tetapi meskipun keblinger. Terprovokasi oleh, mungkin, Sjam yang “double agent”, mungkin oleh isu dewan Jenderal atau isu sakitnya Bung Karno, tapi dia bertanggung jawab.

Dan karena itu, meskipun keblinger, dialog saya pada hari pertama 1 Oktober dengan telepon di rumah Mas Subhan tadi bahwa G30S adalah PKI, itu adalah betul, meskipun PKI hanya keblinger. Dan tidak perduli campur tangan CIA, dokumen Gillchrist, kedutaan Inggris, dan segala macam lainnya. Kenapa sampai begitu? Maekipun keblinger.  Jadi maaf adik-adik sekalian yang mengatakan masih complicated segala macam, bagi saya ini  makin jelas pada hari ini bahwa meskipun PKI keblinger, tetap salah. Cuma ekses berikutnya ini yang saya kira harus dapat perharian dari kita. Saya kira Sdr. Rahman Tolleng ingat waktu itu semangat anti PKI sangat luar biasa, terjadi bunuh-bunuhan. HMI datang ke Bung Karno, “ Pak, ini tidak betul”.

Kemudian Bung Karno mau mengirim misi HMI ke Jawa Tengah untuk “melerai”, istilahnya menenangkan keadaan dan kita sudah siap, tapi tidak tahu kenapa, itu tidak terjadi. Pada tanggal 17 Oktober itu, di kali Solo, Klaten, mayat-mayat sudah bergelimpangan. Rasanya, aduh! Saya hampir ketangkap waktu itu. Saya ke Solo melihat situasi dikawal oleh Dik Marno, saya bilang kamu jangan bawa senjata. Saya bilang, kita menyamar saja. Jadi saya tidak bawa senjata, dia bawa. Dia mengawal saya dan dia malah tertangkap. Saya malah tidak tertanggap. Ya, itulah ekses yang terjadi. Justru inilah yang harus kita bicarakan bahwa ribuan orang terbunuh. Saya kira ini jadi pengalaman buruk bagi Indonesia. Jadi, saya berani pertegas pendapat dengan segala literatur yang ada, bahwa G30S adalah  tetap PKI meskipun keblinger.