PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Masa Pergantian : Lahirnya Supersemar

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,
Menteri Veteran Mayjen. Basuki Rahmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen. M. Yusuf, dan Pangdam V Jaya Brigjen Amirmachmud datang di rumah saya, di Jalan Haji Agis Salim. Dalam keadaan flu berat, batuk-batuk dan tidak bisa bicara keras saya terima mereka. Saya mengenakan piyama dan leher dibebat dengan kain angkin milik istri saya.

Mereka ceritakan apa yang terjadi di Istana tadi pagi sewaktu Sidang Kabinet yang tidak bisa saya hadiri karena sakit.

“Bung Karno meninggalkan sidang dengan tergesa”, kata salah seorang di antara mereka. “Gara-gara laporan Sabur pada Bung Karno, ada pasukan tidak dikenal mengepung Istana.” Inilah rupanya yang membuat Bung Karno resah. Dengan tergesa-gesa Bung Karno meninggalkan sidang dan diajaknya Subandrio dan Chaerul Saleh. Dengan helikopter mereka terbang ke Bogor. Pimpinan sidang diserahkan kepada Pak Leimena, yang kemudian segera menutupnya saja, karena acaranya tidak menentu.

Kemudian ketiga jenderal itu mengambil inisiatif untuk menyusul Bung Karno ke Bogor dengan maksud menemui Bung Karno agar lebih tentram dan sekaligus menunjukkan kepada beliau bahwa AD tidak mengucilkannya.

Sebelum berangkat ketiga jenderal itu minta izin saya dan bertanya apa pesan saya. Saya jawab, “Sampaikan salam dan hormat saya kepada Bung Karno. Laporkan, saya dalam keadaan sakit. Kalau saya diberi kepercayaan, keadaan sekarng ini akan saya atasi”.

Dengan pesan itu ketiga jenderal berangkat ke Bogor dan pada malamnya mereka sudah datang kembali di rumah di Jalan Haji Agus Salim dengan menyerahkan surat perintah dari Presiden Soekarno. Setelah saya membaca surat perintah tertanggal 11 Maret 1966 itu dan memahami isinya, seketika saya mengambil keputusan:

Bubarkan PKI; segera adakan rapat staf dan undang semua Panglima Angkatan di Kostrad; Jenderal basuki Rahmat bersiap-siap memberi penjelasan mengenai surat perintah itu.

Rapat di Kostrad saya buka dengan memberi penjelasan tentang situasi terakhir, khususnya jalannya Sidang Kabinet, perginya tiga jenderal ke Bogor atas izin saya dan kemudian kembalinya mereka dengan membawa surat perintah dari Presiden Soekarno untuk saya. Saya beri kesempatan kepada Jenderal Basuki Rahmat untuk menjelaskan. Rapat mendengarkannya.

Secara kronologis Jenderal basuki Rahmat menceritakan kejadian di Bogor. Setibanya di Istana, mereka melaporkan maksud dan tujuan mereka datang. Mereka mendapat dampratan dari Bung Karno, karena Bung Karno merasa dibiarkan kewibawaannya dirongrong oleh demonstran. Akhirnya ada pertanyaan dari Bung Karno, apa yang harus dilakukan sekarang?. Diantara tiga jenderal ada yang menyampaikan pesan saya dengan bahasanya sendiri: “Percayakan saja kepada Pak Harto.” Bung Karno marah lagi, karena merasa sudah memberi kepercayaan kepada saya, tetapi tidak ada tindakan apa-apa. Disambung lagi oleh salah seorang dari ketiga jenderal itu, “Barangkali diperlukan surat perintah.”

“Baik, siapkan surat perintah itu, “ Jawab Bung Karno. Tiga jenderal dengan dibantu oleh Ajudan Presiden Brigjen. Sabur menyiapkan surat perintah. Dikoreksi oleh Bung Karno dengan bantuan tiga Waperdam yaitu Subandrio, Chaerul Saleh, dan Pak Leimena, akhirnya Surat Perintah 11 Maret ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.

Isinya: Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS Soekarno, memutuskan, memerintahkan kepada saya untuk atas namanya mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, agar terjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Soekarno demi krutuhan bangsa dan nehara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.

Dua butir pasal lagi di bawahnya , yakni saya harus mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan-angkatan lainnya dengan sebaik-baiknya, dan supaya saya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan tugas dan tanggung jawab saya itu.

Setelah Jenderal basuki Rahmat selesai menjelaskan pada rapat, saya mengambil keputusan “Bubarkan PKI” berdasarkan wewenang yang ada pada SP 11 Maret 1966 (Supersemar). Saya perintahkan Jenderal Soetjipto, S.H. menyiapkan keputusan itu.

Malam itu juga Soetjipto, Ketua G-5 Koti, menelepon Kolonel Sudharmono, minta disiapkan rancangan surat keputusan membubarkan PKI. Waktu itu sudah pukul 24.00 tengah malam. Letnan Moerdiono membantu Sudharmono.

Sementara itu memang tuntutan pembubaran PKI sudah menjadi aspirasi yang meluas. G.30.S itu sendiri secara fisik sudah tertumpas. Tetapi PKI, yang merupakan sumber gerakan, belum juga ditindak. Bung Karno yang tidak berkehendak PKI dibubarkan. Dan ini mendorong situasi dalam krisis yang semakin meruncing.

Sudharmono segera menyiapkan naskah pembubaran PKI itu dengan “Supersemar” sebagai landasan pijak yuridisnya. Surat keputusan pembubaran PKI itu diparaf oleh Alamsyah. Terus diberikan kepada saya. Saya setujui naskah pembubaran PKI itu. Saya menandatanganinya. Maka lahirlah keputusan Presiden No. 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang saya tandatangani.

Tepat pukul 06.00 pagi tanggal 12 Maret 1966 RRI mengumumkan pembubaran PKI itu. Tak Syak lagi ini tindakan pertama dengan landasan “Supersemar” yang amat penting.

Dengan begitu, tuntutan rakyat agar PKI dibubarkan terlaksana. Berita itu segera tersebar luas. Bukti bahwa masyarakat menyambut dengan gembira keputusan itu terlihat pada sambutan massa terhadap parade yang terjadi tanggal 12 Maret 1966 itu. Saya tahu, pagi-paginya memang ada permintaan untuk membatalkan parade penyambutan terhadap keputusan saya itu. Tetapi rakyat sudah siap menyambutnya dan parade itu terlaksana dengan sambutan rakyat yang menunjukkan kegembiraan. Masyarakat di seluruh Indoensia juga menyambut meriah keputusan itu. Dan awal sebuah sejarah baru pun dimulai.

Selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret itu saya melakukan seruntutan tindakan. Saya membuat poengumuman berisi penjelasan tentang Supersemar itu dan seruan untuk tidak bertindak sendiri-sendiri. Lalu saya buat Perintah Harian ABRI tentang sikap ABRI terhadap keadaan politik dan penyelewengan revolusi.

Di samping menetapkan keputusan mengenai pembubaran PKI, saya pun membuat pengumuman yang berisi seruan kepad apengusaha untuk membantu ketenangan ekonomi nasional. Itu semua yang saya keluarkan pada tanggal 12 Maret 1966.

Esok harinya keluar lagi dari tangan saya pengumuman yang berisi seruan kepada aparatur negara untuk memelihara kelancaran roda Pemerintahan/Daerah. Lalu pengumuman lainnya yang berisikan seruan kepada aparat Pemerintah Pusat untuk memelihara kelancaran pemerintahan.

Esok harinya lagi saya keluarkan instruksi, larangan pimpinan parpol dan Ormas untuk menerima bekas anggota PKI atau ormasnya.

DI samping itu saya membuat seruan agar semua anggota PKI atau ormasnya melaporkan diri kepada aparat pemerintah terdekat.

Selang beberapa hari kemudian pengumuman  tentang pengamanan terhadap 15 Menteri Kabinet Dwikora saya keluarkan, dan di samping itu saya keluarkan Keputusan Presiden tentang penunjukan menteri-menteri ad interim, berhubung dengan sejumlah menteri ditahan.

Setelah itu saya keluarkan pula instruksi mengenai dimulainya kuliah dan sekolah bagi mahasiswa dan pelajar.

Aksi mahasiswa mereda.

Memang setelah saya umumkan tentang adanya “Supersemar” itu, dipersoalkan orang, apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada saya, ayaukah satu “pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas”?. Menurut saya, perintah itu dikeluarkan di saat negara sedang berada dalam bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban dan pemerintahan berada dalam keadaan berantakan.

Seperti saya nyatakan di depan Radio dan TVRI di pertengahan Juni 1966, saya tidak akan sering menggunakan Surat Perintah 11 Maret tersebut, lebih-lebih kalau surat perintah itu belum diperlukan. Mata pedang akan menjadi utmpul bila selalu digunakan. Sebagai perbandingan saya kemukakan, segerombolan monyet yang menyerang ladang jagung si Polan dapat diusir hanya dengan tepukan tangan penjaganya. Oleh karena itu, tidaklah baik memobilisasi satu kompi kendaraan berlapis baja Cuma untuk mengusir segerombolan kera.

Lima tahun kemudian, untuk pertama kalinya saya jelaskan latar belakang dan sejarah lahirnya “Supersemar” itu, karena rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya. “Supersemar” merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan memberi isi pada kemerdekaan.

Berkenaan dengan ini, beberapa kali saya telah menolak prakarsa untuk memperingati hari lahirnya “Supersemar” secara besar-besaran. Ini untuk menghindarkan timbulnya mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri.

Saya tidak pernah menganggap “Supersemar” itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat Perintah 11 Maret itu juga bukan merupakan alat untuk mengadakan coup secara terselubung. “Supersemar” itu adlaah awal perjuangan orde baru.

[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982