PUSAT DATA JENDERAL BESAR HM. SOEHARTO

---

Undang-undang Perkawinan

♠ Dipublikasikan oleh Tim Kerja Media Cendana Nusantara ,,,,,

Satu undang-undang yang lahir di masa kepemimpinan saya ialah Undang-Undang Perkawinan. Dengan susah dan dengan perjalanan yang panjang sekali undang-undang itu akhirnya disahkan pada tahun 1974. Dari segi mental dan intelektual, wanita sama sekali bukan makhluk lemah. Jika pertanian dianggap sebagai awal peradaban manusia, maka awal bercocok tanam justru ditemukan oleh wanita. Sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa tidak sedikit pemimpin perjuangan dan pemikir-pemikir terkemuka yang tampil dari kalangan wanita.

Pembangunan nasional memberikan tempat tersendiri bagi kaum wanita. Dalam GBHN hal ini dijelaskan sebagai usaha meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Dalam pembangunan yang demikian, kaum wanita. jelas harus berperan dan memberikan sumbangan. Baik karena jumlahnya maupun karena peranannya dalam masyarakat, maka tanpa ikut sertanya kaum wanita, pembangunan akan mengalami hambatan yang tidak kecil, malahan mungkin gagal.

Satu bangsa akan tumbuh dengan kokoh apabila bangsa itu melahirkan anak-anak bangsa yang kelak tumbuh menjadi warganegara yang sehat jasmani dan rohaninya, cerdas pikiran dan kuat kepribadiannya, trampil dan berbudi luhur, bertanggungjawab dan terpuji perangainya. Anak-anak bangsa yang demikian itu hanya dapat tumbuh, jika diasuh dan dibesarkan oleh ibu-ibu yang dapat menjalankan peranan sebagai ibu.

Maka kita bentuk wadah Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Ternyata PKK itu benar-benar berhasil baik dan telah mendapat perhatian dari lembaga-lembaga internasional karena kesuksesannya. Dan peranan PKK yang selama ini telah dirasakan manfaatnya dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan sekaligus. meningkatkan peranan partisipasi wanita itu akan terus kita galakkan.

Wanita Indonesia telah ikutserta dalam Konferensi Wanita Internasional tabun 1980 di Kopenhagen yang menghasilkan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi  terhadap wanita. Indonesia langsung menandatangani konvensi itu.

Dalam kegiatan regional, wanita Indonesia memprakarsai pembentukan “Asean Women’s Programmes“, lalu pembentukan “Asean Confederation.of Women’s Organization“.

Keberhasilan meningkatkan peranan wanita tanpa mengingkari kodratnya akan merupakan kunci keberhasilan pembangunan di masa datang. Saya paham, masalah yang sering muncul dalam meningkatnya peranan wanita di masyarakat adalah ketelantaran anak-anak dan keluarga. Saya pun paham, cukup sulit menemukan keserasian yang tepat antara tugas rumah tangga yang berhasil dan karier yang sukses.

Tetapi munculnya seseorang seperti Doktor Pratiwi Soedarmono yang terpilih sebagai antariksawan, astronot pertama Indonesia (yang direncanakan akan mengikuti peluncuran satelit Palapa B-3) adalah pertanda kemajuan wanita Indonesia selangkah lagi. Doktor Pratiwi adalah wanita pertama yang berpredikat ahli mikrobiologi di Indonesia dan akan mendapatkan kesempatan melakukan riset dalam bidang ilmunya di angkasa luar. Bukankah ini satu prestasi kita yang patut kita banggakan?

Kemenangan gerakan wanita di Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, UU No.1 tahun 1974. Ini tonggak sejarah kemajuan lagi daripada perjuangan wanita Indonesia khususnya, dan perjuangan kita semua pada umumnya. Ini tonggak sejarah untuk meningkatkan harkat dan martabat wanita kita dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa.

Mencapai hasil yang penting ini, perjuangan kita melalui proses yang panjang, sangat panjang, dengan penuh gejolak dari mulai di zaman penjajahan Belanda sampai di masa Orde Baru. Kemudian disambung lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 bagi pegawai negeri yang menjadi penangkal bagi lestarinya proses kawin cerai itu.

Terhadap mereka yang memberi contoh tidak baik, kita harus mengambil tindakan. Tidak mungkin seorang pemimpin yang melakukan hal-hal yang tidak baik kita diamkan saja. Kalau kita biarkan saja, maka pengaruhnya pun dengan sendirinya tidak akan baik. Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, siapa pun, termasuk atasan dalam satu instansi pemerintah, dilarang mengambil istri lagi tanpa seizin istri pertama. Undang-Undang Perkawinan kita yang ditetapkan tahun 1974 menyebutkan demikian.

Saya akui bahwa masalah perkawinan itu dilihat dari satu segi, adalah masalah pribadi. Dan saya pun paham, bahwa kita sebagai manusia tidak sempurna. Kesalahan atau kekurangan pada kita selalu ada saja. Tetapi kita harus melihat hal itu menyangkut masalah prinsip. Undang-Undang Perkawinan sudah merupakan masalah prinsip.

Saya menilai sifat “royal”[2] itu tidak baik. Saya sendiri bisa mengendalikan diri dalam hal ini. Dan sifat “royal” itu adalah soal manusia biasa. Tetapi kalau pemimpin tidak bisa mengendalikan diri, itu tidak baik, tidak bisa dibiarkan.

Maka untuk membantu agar mereka yang menjadi pemimpin itu bisa dicontoh, maka bukan atas dasar benci atau seolah saya sendiri sebagai orang yang lebih suci daripada yang lain, kita lalu lahirkan PP- 10. Saya pun mengakui bahwa sebagai manusia kita punya kesalahan, punya kekurangan. Tetapi kesalahan dan kekurangan itu jangan sampai ‘diugung, jangan sampai diujar, jangan sampai diumbar sehingga tidak sesuai dengan kedudukan sebagai pemimpin. Ya, saya harus memperingatkan hal ini.

Undang-Undang Perkawinan sudah ada, sudah berlaku. Tetapi nyatanya masih ada perselisihan  paham mengenai pelaksanaan uu Perkawinan itu. Masih ada penafsiran, kawin lagi boleh asal ada izin dari pihak istri yang pertama. Nah, maka PP-10 menegaskan duduk soalnya, karena tempo-tempo bukan izin yang benar-benar yang diberikan oleh si istri, melainkan karena si istri itu didesak atau dipaksa menandatangani saja sepucuk surat itu, supaya si suami memperoleh persetujuan si istri itu. Hal seperti itu harus dicegah.

GBHN pun menyebutkan antara lain bahwa pembangunan menyeluruh mensyaratkan ikutsertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Dalam rangka ini wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikutserta dalam segala kegiatan pembangunan. Di samping itu Indonesia telah menandatangani “Convention on the elimination of all forms of discrimination against women” dan kita sahkan melalui Undang-Undang no. 7 tahun 1984.

Ini semua membuktikan kepada kita betapa kayanya kita secara hukum dalam bidang hak-hak asasi wanita itu. Para ahli di bidang ini menyebutkan bahwa bangsa Indonesia justru lebih maju daripada bangsa Amerika, misalnya, yang sekarang masih berjuang untuk menggolkan “Equal Rights Ammendement” (ERA) ke dalam konstitusi mereka.

Dalam hal ini kita bersyukur, berterima kasih kepada pejuang­pejuang sebelum kita, dan kepada pejuang-pejuang di masa kita. Masalah wanita adalah masalah kita semua, masalah kaum wanita dan juga masalah kaum pria. Bahwasanya masih ada saja yang menghina kaum wanita di negeri ini dengan tindakan atau peraturan yang dibuatnya sendiri, melanggar undang-undang dan peraturan-peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, itu adalah penyelewengan.

Berkenaan dengan pembangunan, maka wanita yang positif itu adalah yang menyadari fungsinya sebagai wanita dan sebagai warga­negara yang baik. Karena itu, saya anjurkan mengenai fungsi ganda bagi wanita, ialah harus menyadari bahwa ia sebagai ibu rumah tangga dan sebagai seseorang yang ingin maju. Ia boleh menjadi wanita karier, tetapi ia tidak boleh mengorbankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Pada tempatnya ia menuntut haknya sama dengan kaum pria, tetapi kita tidak boleh lupa pada kodratnya sebagai insan yang melanjutkan kehidupan sehat, baik, dan menyenangkan. Wanita yang benar-benar bisa menempatkan dirinya dalam fungsi ganda itulah wanita yang ideal.

Sejarah perjuangan dan pergerakan serta pembangunan kita tidak dapat dilepaskan dari keikutsertaan kaum wanita Indonesia. Tidak sedikit srikandi-srikandi bangsa kita yang ikut dalam berbagai perlawanan bersenjata melawan kaum penjajah. Tidak sedikit pejuang­pejuang wanita bangsa kita yang terpaksa meringkuk dalam penjara­penjara: pemerintah kolonial sebagai risiko perjuangan mereka membela bangsa dan tanah air. Begitu juga tidak sedikit pejuang­pejuang wanita kita di zaman pembangunan, baik di desa maupun di kota, baik yang menambah hasil produksi pertanian maupun yang sampai terpilih sebagai antariksawan, dengan keahliannya, dengan ketrampilannya.

Sekian banyak organisasi wanita yang jadi tempat menyalurkan gagasan-gagasan dan perjuangan kaum wanita kita. Menyebut beberapa daripadanya, misalnya Perwari, Kowani, Dharma Pertiwi, Kawi yang membantu kita dalam menumpas G.30.S/PKI, BKN-KKA (Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak), Dharma Wanita, dan lain-lain.

Banyak yang bertanya mengenai organisasi Dharma Wanita. Saya jawab bahwa dalam keluarga pegawai negeri, suami dan istri itu harus saling membantu, saling mengisi, sementara dari padanya dituntut untuk memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya untuk negara dan bangsa. Istri pegawai negeri yang tidak sedia berkorban untuk negara dan bangsa akan ‘ngalor-ngidul’ dengan tugas suaminya. Kenyataan adalah bahwa kalau suami yang jadi pegawai negeri mendapat penghargaan, istrinya pun mendapat penghargaan itu. Bertolak dari pikiran bahwa menjadi wanita yang ideal adalah juga menjadi makhluk sosial, di samping sebagai ibu rumah tangga.

Kritik menyebutkan bahwa Dharma Wanita itu tidak demokratis; Masalahnya dihubungkan dengan pemimpin. Sebagai pemimpin dalam “Korpri”-nya, maka ia harus memikirkan anak buahnya. Begitu juga istri pemimpin. Ia harus juga memikirkan para istri anak buah suaminya. Kenyataan dalam kehidupan orang Indonesia sekarang menunjukkan bahwa orang Indonesia masih percaya kepada panutan dan selamanya menghargai orang yang lebih tua dan orang yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam menentukan program-program Dharma Wanita, dilaksan kan secara demokratis karena dirundingkan bersama, dibicarakan bersama. Dalam memilih pengurusnya pun dirundingkan secara demokratis.

Ada yang menyebutkan bahwa Dharma Wanita itu adalah organisasi feodal. Tetapi harus kita akui bahwa memang dalam kehidupan kita sekarang, dalam beberapa masalah, kita masih feodalistis. Saya tidak mengatakan bahwa organisasi Dharma Wanita itu adalah untuk kepentingan ketuanya, untuk kepentingan pemimpinnya. Malahan sebaliknya, organisasi tersebut dan ketuanya adalah untuk kepentingan para anggotanya, untuk kepentingan bawahannya.

Berbicara mengenai demokrasi sehubungan dengan keluarga, rumah tangga, saya bukan seseorang yang senang melihat anak berlaku ‘nyangklak’, menginjak-injak kepala orang tua. Dengan berlaku demikian, nyangklak, tidak bisa kita sebutkan bahwa si anak itu berpegang kepada hak asasinya. Bersikap seperti itu bukanlah kehidupan manusia yang percaya, bahwasanya orang tua itu menjadi perantara kelahiran kita. Karena itu, sebagai manusia yang berketuhanan, kita harus menghormati orang tua, yang berarti mempertebal iman kita kepada Tuhan yang menciptakan kita.

 Menjadi tugas organisasi kewanitaan Indonesia untuk membawa wanita Indonesia kepada posisi dan peranannya yang tepat, yakni ibu rumah tangga dan sekaligus motor pembangunan.

Di masa saya menjadi Presiden, sampai sekarang (1988), saya telah mengangkat dua orang wanita menjadi menteri, yakni Menteri Sosial dan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Begitulah pikiran dan tindakan saya mengenai wanita kita.

***

[1]      Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH,  diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 298-303.

[2] Royal, bergaul dengan wanita tanpa nikah